Custom Search

Cerita Dalam Sepotong Tahu

Cerita Dalam Sepotong Tahu



KOMPAS/MYRNA RATNA
Tahu yang baru selesai digoreng dan disajikan panas- panas.
Cerita dalam Sepotong Tahu

Minggu, 28 Maret 2010 | 04:18 WIB

Budi Suwarna

Kalau tidak ada keluarga Boen Keng, mungkin tak akan pernah sepotong tahu bisa menjadi ikon sebuah kota. Bagaimana rasa tahu legendaris yang telah diproduksi sejak lebih dari 100 tahun lalu di Sumedang, Jawa Barat, itu?

Kami mengunjungi Sumedang, Februari lalu. Sejak memasuki wilayah perbatasan Sumedang-Bandung, tepatnya di kawasan Cileunyi, ”aroma” tahu sudah mulai tercium. Di pinggir jalan, kios-kios kecil berjejer menjajakan tahu sumedang, berikut lontong, dan cengek (cabai rawit)-nya.

Memasuki kawasan Cadas Pangeran, penjaja tahu sumedang kian banyak. Bisa dikatakan, hampir semua warung makan di kawasan yang berjurang-jurang itu menyediakan tahu sumedang. Di dalam kota Sumedang, lebih banyak lagi. Rupanya, orang Sumedang tidak bisa ”hidup” tanpa tahu.

Dari ribuan tahu yang diperdagangkan di Sumedang, ada satu yang sangat terkenal dan legendaris, namanya tahu Boen Keng. Tahu ini bisa kita peroleh hanya di pusat kota Sumedang sebab pengelolanya tidak membuka tempat penjualan di kota lain.

Kami mampir ke salah satu rumah makan tempat penjualan tahu Boen Keng di pusat kota Sumedang, Rabu siang di awal Februari. Sejak di tempat parkir, aroma segar tahu goreng langsung menyergap. Sebenarnya, kami sudah makan siang, tetapi perut kami keroncongan lagi begitu mencium aroma tahu Boen Keng.

Siang itu kami harus bersaing dengan puluhan pembeli lain yang datang dan pergi ke rumah makan yang didirikan sejak tahun 1917 itu. Sambil menunggu pesanan, pembeli bisa melihat atraksi para pegawai menggoreng tahu di penggorengan ukuran jumbo. Sekali goreng bisa seratus tahu.

Saking banyaknya pembeli, sore itu stok tahu di rumah makan tersebut sempat habis. Seorang pengelola warung pun bergegas ke pusat pembuatan tahu Boen Keng di Jalan 11 April Nomor 53 untuk mendapatkan stok baru. Beruntung kami masih kebagian tahu sumedang legendaris itu.

Sepintas, tahu Boen Keng nyaris sama dengan tahu sumedang kebanyakan. Kulit luarnya berwarna coklat terang dan agak kasar, dagingnya berwarna putih, dan ukurannya kecil-kecil, yakni sekitar 3 cm x 3 cm. Namun, soal rasa, tahu Boeng Keng bisa dibilang ”rajanya”. Tahu ini rasanya gurih, segar, dan lembut di lidah. Daging tahu Boen Keng juga lebih tebal.

Istimewa

Keistimewaan rasa tahu Boen Keng juga diakui Tati, salah seorang warga Bandung yang selalu singgah ke rumah makan tersebut setiap berkunjung ke Sumedang. ”Tahu Boen Keng tidak terasa asam seperti tahu sumedang di tempat lain,” kata Tati.

Di rumah makan ini, tahu disantap dalam keadaan hangat bersama lontong ukuran mini dan sambal cocol yang terbuat dari campuran cabai rawit, tomat, dan taoco. Untuk pembeli yang gemar rasa pedas, mereka tinggal menambahkan cabai rawit segar yang selalu tersedia di meja. Rumah makan itu juga menyediakan menu lain, seperti ayam goreng dan nasi goreng. Namun, orang datang ke rumah makan itu umumnya mencari tahu, bukan ayam.

Suriadi, pemilik rumah makan Boen Keng, mengatakan, tahunya menggunakan kedelai pilihan sehingga rasanya lebih gurih. ”Kami juga tidak menggunakan bahan pengawet sehingga saya jamin semua tahu yang dijual di sini segar,” katanya.

Untuk meyakinkan pembeli, Suriadi memasang tulisan besar-besar di rumah makannya: ”Tanpa Bahan Pengawet”.

”Lagi pula, untuk apa pakai bahan pengawet karena tahu buatan kami selalu ludes terjual dalam sehari,” lanjutnya.

Dia menjelaskan, dalam sehari, pabrik tahunya menghabiskan 1-2 kuintal kacang kedelai. Di akhir pekan, pabriknya menghabiskan 3-4 kuintal kacang kedelai. Pembuatan tahu dilakukan sejak pukul 05.00 hingga 16.00 setiap hari. Suriadi mengawasi langsung setiap proses pembuatan tahu, seperti yang dilakukannya saat kami berkunjung.

Proses pembuatan tahu dimulai dengan merendam kedelai selama 4-6 jam. Kedelai kemudian dicuci, lalu digiling. Kedelai yang telah digiling direbus dan disaring. Setelah proses penyaringan inilah, kedelai giling tadi dibagi dua. Bagian yang mengendap dipisahkan. Bagian ini yang nantinya bakal menjadi tahu.

Bagian lainnya yang disebut cuka tahu dipisahkan dan disimpan untuk digunakan sebagai bahan campuran pada proses perebusan berikutnya.

Proses pembuatan di tempat itu, kata Suriadi, dari dulu hingga sekarang tidak berubah. Semua masih dikerjakan secara tradisional dan mengandalkan tenaga manusia. ”Yang berbeda paling sekarang kami menggunakan dinamo (mesin) untuk menggiling tahu,” tutur Suriadi.

Suriadi, yang merupakan generasi keempat pembuat tahu Boen Keng, mengatakan, beberapa tahun belakangan ini semakin banyak pembuat tahu sumedang di kota itu. Kehadiran mereka sedikit banyak berpengaruh pada penjualan tahu Boen Keng. ”Tapi, kami tetap bisa bertahan sampai sekarang,” katanya.

Begitulah, di balik gurihnya tahu Boen Keng, ada etos kerja, keuletan, dan kesetiaan pembuatnya. Inilah yang membuat tahu Boen Keng bertahan sepanjang empat generasi. (IYA/MYR)

Artikel yang Berhubungan



0 comments:

Posting Komentar

Template by : Kendhin x-template.blogspot.com