Custom Search

Kota Kreatif, Kota yang Toleran



Kota Kreatif, Kota yang Toleran


Koompas/Lasti Kurnia')
Pradaningrum Mijarto')

Pemandangan di bekas Gedung Chatered Bank untuk kawasan Asia, Australia, dan East India yang berdiri akhir abad ke-19 diwaktu malam beberapa waktu lalu. Komunitas pencinta bangunan tua beberapa kali mengadakan wisata malam ke kawasan Kota Tua, antara lain ke bekas kantor bank ini.

KOMPAS.COM — Sejak revitalisasi Kota Tua Jakarta, ada dua kata yang sering kali disebut pejabat Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI, industri kreatif. Dua kata tadi biasa ditambahkan dengan kata lain, sentra industri kreatif. Menteri Perdagangan Mari Elka Pengestu pernah sedikit menjabarkan, industri kreatif yang bisa dikembangkan di Kota Tua antara lain galeri, musik, restoran, dan mode. Kemudian orang nomor satu DKI Jakarta, Fauzi Bowo, menyebutkan rencana pemindahan salah satu kampus Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ke “Oud Batavia”. Kemudian Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Parbud) DKI Jakarta Arie Budhiman menyatakan, Kota Tua akan disulap menjadi pusat seni budaya, Hollywood van Batavia—meski tambahan “wood” itu sudah ada di Batavia sejak masa anak wayang di zaman Belanda, yaitu Tangkiwood.

Pada masanya, Tangkiwood yang kini jadi Jalan Tangki Lio Timur di kawasan Tamansari, Jakarta Barat, melahirkan anak wayang (seniman panggung) yang berjaya, sebut saja Tan Tjeng Bok, Wolly “Mak Wok” Sutinah, Fifi Young, Leila Sari, bahkan Idris Sardi. Seiring masa, Tangkiwood kini tak lebih dari sebuah kawasan kumuh


Kembali ke dua kata “mantra” para pejabat, industri kreatif, yang tak kunjung kelihatan batang hidungnya di kawasan Kota Tua yang “baru”, makin kumuh, makin kotor, makin banyak sampah bertumpuk, makin tak jelas siapa yang bertanggung jawab. Kali ini saya tak berniat masuk terlalu dalam soal kondisi “the new” Kota Tua berharga puluhan miliar rupiah itu. Mari kita menelusur apa itu industri kreatif, termasuk di dalamnya, ruang kreatif, lebih besar lagi, kota kreatif.

Adalah Charles Landry, lewat buku The Creative City: A Toolkit for Urban Innovators, memperkenalkan ide tersebut pada tahun 2000. Gerakan kota kreatif (creative city) itu langsung mendapat perhatian khalayak dunia, khususnya para wali kota dunia, serta mereka yang bergelut di bidang pengembangan ekonomi dan budaya. Landry mengatakan, creative city adalah sebuah tempat di mana orang merasakan bahwa mereka bisa berpikir bertindak, berencana dengan imajinasi. Sebuah kondisi di mana ada perbedaan kepemimpinan, komunitas publik dan swasta, tapi tetap memberikan perasaan pada masyarakat bahwa ada sebuah sikap atau budaya “ya” untuk kehidupan. Budaya toleransi pada perbedaan, toleransi pada perubahan, dan pada banyak hal sehingga semua orang bisa berkembang dan mengembangkan diri.

“Dan creative city itu tidak lantas secara eksklusif tentang seni meskipun seni merupakan elemen kuat dari sebuah kreativitas. Tapi, ini (creative city) lebih sebagai ide yang luas,” ujarnya dalam sebuah wawancara beberapa tahun lalu.

Lebih lanjut Landry menjelaskan, sebuah kota yang kreatif bisa dilihat dari kesan pertama saat kita singgah. Misalnya keramahtamahannya. Keramahtamahan transportasi, khususnya. “Bagaiman sebuah kota seperti mengundang kita untuk masuk lebih dalam, melalui bandara, pelabuhan, stasiun kereta api mereka.” Kota kreatif juga berisi orang yang punya kombinasi pengetahuan begitu mendalam tentang kotanya, industrinya, seni budaya, bisnisnya, dan yang secara bersamaan juga terbuka terhadap sebuah toleransi, punya kapasitas untuk mendengarkan. “Kota kreatif adalah juga tentang personality quality, di mana ada banyak orang dengan kualitas yang berbeda tadi, diizinkan untuk mengembangkan diri,” tandas Landry.

Maknanya adalah bagaimana kita membuat kota menjadi tempat yang didambakan untuk hidup. Kota dengan sumber penting, manusia yang hidup di dalamnya. Manusia dengan kepandaian, hasrat, motivasi, imajinasi, dan kreativitas dan menjadikannya sumber daya perkotaan. Pada ujungnya, semua ini mengarah pada perkembangan ekonomi.

Richard Florida, dalam buku The Rise of The Creative Class, menggunakan indeks kreativitas (creativity index) sebagai kunci pertumbuhan ekonomi pada sebuah kota atau kawasan yang diukur melalui andil kelas kreatif dari para tenaga kerja, kemampuan teknologi, inovasi, dan keberagaman yang diukur dengan gay index–kemampuan untuk menerima secara terbuka segala jenis perbedaan manusia dan ide.

Jaringan Kota Kreatif

Gerakan kota kreatif pun ditangkap oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa/UNESCO). Organisasi itu kemudian membentuk apa yang disebut Jaringan Kota-kota Kreatif (JKK/The Creative Cities Network) pada 2004. Tujuannya tak lain adalah mempertahankan keberagaman budaya di mana kota-kota di dunia bisa saling bertukar pengalaman dalam upaya mempromosikan pusaka budaya lokal mereka masing-masing, termasuk bagaimana menghadapi arus globalisasi.

Pada akhirnya, tentu, upaya dari kota-kota yang sudah sadar untuk “mengkreatifkan diri”, untuk bersikap lebih toleran, bisa lebih jelas dan pasti dalam mengembangkan industri kreatif mereka dan memperlakukan ruang dengan lebih arif, yaitu memberi ruang kreatif di kantong-kantong kreatif kota mereka yang berujung pada pertumbuhan ekonomi. Tahun lalu, UNESCO menambah jaringan kota kreatif dengan menetapkan tiga kota sebagai kota kreatif. Kota-kota itu adalah Kanazawa di Jepang, ditetapkan sebagai “City of Crafts and Folk Art”, Bradford di Inggris sebagai “City of Film”, dan sebuah kota kecil di Belgia, Ghent, sebagai “City of Music”. Kini, 19 negara sudah terhubung dengan JKK UNESCO, yang terbagi dalam bidang-bidang sastra, film, musik, seni kerajinan dan kesenian rakyat, desain, seni media (media artsi), dan tradisional kulinari (gastronomy).

Daftar kota-kota itu, selain ketiga kota di atas, antara lain Iowa (AS) dan Shenzhen (China) sekaligus sebagai “Kota Sastra” dan “Kota Desain”; Nagoya dan Kobe (Jepang) menjadi “Kota Desain”; Melbourne (Australia) sebagai “Kota Sastra”; Glasgow (Inggris)–“Kota Musik”; Lyon (Perancis)–“Kota Seni Media”; Aswan (Mesir)–“Kota Seni Kerajinan dan Seni Kerakyatan”; Sevilla (Spanyol)–“Kota Musik”; dan Popayan (Kolombia)–“Kota Gastronomi”.

Dalam bukunya, Landry mengatakan, kota-kota yang berhasil menjadi kota kreatif biasanya mempunyai kesamaan dalam visi individu, organisasi kreatif, dan budaya politik dengan tujuan jelas. Diperlukan pemimpin yang mampu menyatukan semua pihak, baik publik, swasta, juga sukarelawan. Kota yang berhasil juga mampu mengekspresikan inisiatif publik, bahkan jika inisiatif itu merupakan investasi bisnis yang rawan sekalipun. Selain itu, penghargaan terhadap isu kebudayaan, ekspresi terhadap nilai dan identitas adalah kunci untuk menghadapi perubahan. Karena budaya–kebudayaan–adalah sumber kreatif.


WARTA KOTA Pradaningrum Mijarto

Artikel yang Berhubungan



0 comments:

Posting Komentar

Template by : Kendhin x-template.blogspot.com